https://themighty.com/anxiety/
Pada 2012, WHO menyebutkan bahwa depresi adalah salah satu penyebab terbesar beban penyakit jiwa secara global. Saat itu WHO memperkirakan ada 350 juta orang yang mengalami depresi, baik ringan maupun berat.
Pernah pada suatu ketika
saya menemukan seseorang yang tengah mengalami depresi. Ia menyatakan bahwa
keadaan dirinya yang sedang berada di titik terendah dalam hidupnya justru
membuat ia ditolak mentah-mentah oleh masyarakat, bahkan kerabat dekat. Alih-alih
diberi simpati dan dukungan untuk keluar dari jeratan depresi, justru kata-kata
yang bersifat meremehkan yang keluar dari mulut mereka. Seseorang ini juga
menyebutkan bahwa stigma-stigma yang muncul pada masyarakat mengenai keadaan
emosionalnya justru memperburuk keadaannya, demikian kesaksian seseorang
sebagai penyintas depresi yang akhirnya memilih untuk menyudutkan diri dari
lingkungannya.
Penyebab depresi tentu
banyak macamnya. Pun tidak ada alasan seseorang depresi karena sesuatu yang
terlalu lebay atau sepele. Yang jelas, apapun penyebabnya, para penyintas
depresi ini merasa dalam kondisi tidak diinginkan, merasa terperangkap,
terperanjat dan tak ada masa depan. Semua gelap, sirna, seolah-olah
eksistensinya di dunia ini sangat nirfaedah.
Depresi semakin mengerikan
ketika beredar asumsi-asumsi yang menganggap bahwa kondisi kesehatan mental
macam ini merupakan bentuk kelemahan diri dan kurang mampunya seseorang dalam
meng-handle diri sendiri. Bahkan, adapula yang melibatkan Tuhan dengan berdalih kurangnya pendekatan diri dengan-Nya tanpa mengetahui dengan pasti apa parameter dan ukuran seseorang dapat dikatakan religius. Seseorang bisa
saja dengan mudahnya berkelakar, “Yaelah, baru diputusin pacar saja stresnya
sampe begitu.”, “Banyak-banyak bersyukur, gan. Lo masih mending, banyak yang
lebih parah daripada kondisi lo sekarang.”, atau juga “Halah, kuliah begitu
doang sampe bikin depresi. Alay lau”.
Mbok
ya kalo ndak tau masalahnya apa, mending diem aja kan ya. Kzl akutu...
Banyak sekali kasus di mana masyarakat cenderung bersifat menghakimi dan malah ada yang
menganggap remeh temeh permasalahan yang dihadapi seseorang. Parahnya lagi, ucapan-ucapan
diatas bisa menjadi racun bagi siapapun yang mendapatkan pernyataan tersebut. Kita
tidak pernah mengetahui secara pasti kondisi jiwa mereka, bagaimana masalah
yang mereka hadapi, keadaan yang mereka lalui dan beban yang mereka pikul. We’ve never walked in their shoes, kalo
bahasa kerennya, sih. Sebab, kekuatan hati yang terdapat pada seseorang tentu
saja berbeda-beda. Ada yang dihujat
habis-habisan setelah mem-posting foto di instagram karena tidak memenuhi standar kecantikan di kalangan masyarakat, namun ia
teteup sabodo teuing euy. Ada juga
yang baru dikritik karena sepatu baru yang ia kenakan kurang cocok dengan dirinya,
membuat ia memikirkan statemen yang menurutnya ‘pedas’ tersebut hingga tujuh
hari tujuh malam. Pernyataan demi pernyataan yang kita keluarkan, tidak pernah
terprediksi betapa dahsyat efeknya bagi orang yang menerimanya. Makanya, hati-hati, gan dalam berkata-kata. Bisa saja kata-katamu itu membunuh jiwa dan batin seseorang, tanpa kita ketahui. DEEP.
Lalu, bagaimana cara yang tepat untuk menghadapi orang yang sedang dilanda kondisi jiwa yang berantakan ini? Setidaknya, jika kamu
bukanlah orang yang pandai berkata-kata dan pemberi saran yang baik,
dengarkanlah mereka. Jadilah pendengar yang baik. Mereka hanya ingin didengar. Seringkali,
kita terlampau sibuk menjustifikasi dan berasumsi sesuai dengan nilai yang kita
tanam pada kepala kita sejak dulu. Cobalah perlahan menahan diri untuk berasumsi
diri terhadap orang yang menderita depresi dan mulailah mendengarkan serta
belajar hadir menyimak kisah mereka. Jangan malah kamu yang curhat balik ya, bro, sist. Biarkan mereka bercerita se-leluasa
yang mereka inginkan. Kamu tidak perlu repot-repot berlagak sok tahu dan memikirkan
motivasi jenis apa yang harus kamu keluarkan jika kamu bukan tenaga medis
profesional seperti psikiater. Buatlah keadaan dimana mereka merasa berharga,
merasa penting akan eksistensi mereka di dunia ini. Seperti motto yang
digunakan oleh Into The Light; Hapus stigma,
peduli sesama, sayangi jiwa.
Karena, ada hal yang lebih mengerikan
lainnya; saat seseorang tidak tahu menahu kepada siapa dan bagaimana ia bisa
menuangkan cerita yang ia alami. Keadaan memendam perasaan jengkel di dalam
hati untuk diri sendiri justru akan lebih parah; mengalami kekalahan eksistensi
lalu menemukan pilihan untuk mengakhiri kehidupan mereka. Duh, jangan sampe,
ya, gaes?
Komentar
Posting Komentar